Minggu, 10 Desember 2017

Lelaki Kereta

Sebuah kebanggaan tersendiri bisa bolak balik Bogor-Bekasi sendirian. Memang bukan perkara besar, tapi untuk gadis sepertiku yang sering banget nyasar, ini bagaikan sebuah prestasi gemilang.

     Tak disangka, perjalanan 3 stasiun dari Tambun ke Cikarang bisa jadi pengalaman yang tak terlupakan. Bukan berarti sebagai pengalaman paling wah, tapi setidaknya bisa diingat terus untuk kedepannya.

     Teriknya matahari mulai terasa membakar, orang-orang berdesakan untuk masuk ke kereta yang ditunggu-tunggu sedari tadi.

     Karena banyaknya penumpang, akupun terpaksa berdiri bersandar di dekat pintu kereta. Ditemani dengan seorang lelaki cukup tampan yang juga berdiri bersandar. Singkatnya, kami saling berdiri di ujung pintu. Dia di kanan, aku di kiri.

     Lelaki itu tidak terlalu tinggi, mungkin kisaran umurnya 1-2 tahun di atasku. Bobot badannya yang cukup ideal tertutupi jaket cokelat yang sakunya ia manfaatkan untuk memasukkan kedua tangannya ke sana. Ia juga memakai topi, penampilannya benar-benar mencirikan style masa kini.

     Terlalu lama memperhatikan, aku jadi tahu diri. Pura-pura sibuk melihat ke arah yang lain, yah walau dia tetap bersikap santai. Dia juga sepertinya sudah sadar dengan kehadiranku.

     Akupun menaruh tas besarku ke atas, sialnya aku cukup kuat sehingga tas itu tanpa memakan banyak waktu sudah tertaruh dengan asal di penyimpanan tas. Mungkin jika ini adalah sebuah drama, aku akan kesusahan dan dia akan membantuku.

     Mungkin dia akan maju beberapa langkah, membantuku dari belakang menaruh tas. Dan ketika aku menoleh, aku akan tepat sepantaran dengan dadanya lalu melihat ke wajahnya.

     "Makasih Kak," ucapku menatap kedua matanya intens. Lalu berujung lihat-lihatan selama 5 menit.

     Nyatanya, itu terlalu dramatis. Tidak ada yang terjadi antara aku dan dia di kehidupan nyata.

     Setelah menaruh tas, kuraih headset di saku dan mulai mendengarkan lagu seiring dengan kereta yang mulai berangkat. Jujur saja, lagu-lagu itu tidak benar-benar membuatku tenang, malahan aku tidak fokus.

     Memang sih aku sudah sok sibuk melihat pemandangan dari luar jendela. Padahal tidak ada yang menarik di luar sana. Siapa juga yang tertarik dengan pemukiman warga yang padat itu? Banyaknya pesawahan juga jujur saja tidak membuatku senang karena itu benar-benar sudah biasa bagiku.

     Tapi dari ke-sok-sibuk-anku itu, aku dapat melihat pantulan si dia yang berdiri dengan wajah yang menghadap ke arahku. Hatiku berkecamuk dan bertanya-tanya apakah dia memang sedang memperhatikanku atau tidak, namun pikiranku tetap mencoba membuatku tenang dan bertingkah sok cuek dan sibuk.

     Demi Tuhan, siapa juga yang mau bermenit-menit melihat sawah di luar jendela?

     Akhirnya pikiranku menyerah melawan hatiku yang sinting, aku balik melihat ke arah si dia yang buru-buru sibuk melihat ke arah yang lain.

     Dia memang lelaki asing tapi lucu juga deh kalau seperti itu.

     Tiga stasiun bersamanya benar-benar terasa sangat berharga. Apalagi lama kelamaan dia tidak berada di ujung pintu lagi melainkan di tengah-tengah pintu yang menandakan bahwa jarak di antara kami semakin dekat.

     Dengan jarak sedekat itu, aku tak berani melihat ke arahnya, aku hanya berani menatap pantulan dirinya di jendela pintu. Sepenglihatanku, wajahnya masih saja menghadap ke arahku. Ingin rasanya aku marah dan menyuruhnya untuk menghadap ke arah lain agar aku tidak malu.

     Waktu pun berlalu, kereta sudah sampai di Cikarang. Begitu pintu terbuka, dia segera turun meninggalkanku yang asik melihat punggungnya yang kemudian menghilang ditelan orang banyak.

     Kalau aku ikut turun dan menyusulnya lalu bertanya namanya bagaimana ya? Apa yang akan terjadi? Ah tapi mana mungkin, mana berani hal segila itu aku lakukan.

     Mungkin terlalu naif jika aku berkata bahwa dirinya begitu mempesona dan membuat hatiku berdebar. Menit-menit yang berlalu di kereta itu kuhabiskan untuk sebuah penyesalan karena tidak bicara sepatah katapun dengan si dia.

     Mungkin saja, aku jatuh cinta dengan imajinasiku sendiri. Sering kan kau merasa penampilan seseorang itu begitu mempesona lalu kau mengetahui sesuatu yang membuatmu menjadi ilfeel terhadapnya?

     Akupun begitu. Biarlah pertemuan ini menjadi pertemuan pertama dan terakhir. Agar tidak ada yang perlu dikembangkan dan tidak ada yang perlu di-ilfeel-kan.

     Biarkan dia menjadi karakter imajinasiku tiap saat yang aslinya aku tak tahu bagaimana sifat dia. Sekali lagi, kurasa aku memang jatuh cinta dengan karakter yang kubuat sendiri dalam imajinasi. Sampai kapanpun, dia memang tidak akan bisa kuraih.
Share: